Pembangunan TPT di Desa Rigi Dinilai Tak Rasional, Kades: Sudah Sesuai Prosedur.
FAKTAHUKUMNTT.COM, NAGEKEO – 16 Mei 2024.
Pembangunan Tembok Penahan Tanah (TPT) di Desa Rigi, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo dinilai tidak masuk akal, sebab anggaran senilai Rp.300 Juta lebih yang bersumber dari Dana Desa (DD) tahun 2023 hanya menghasilkan sepotong Pembangunan TPT dengan panjang kurang dari 100 meter.
Salah satu warga Desa Rigi kepada faktahukumntt.com mengaku bahwa sebagai masyarakat dirinya merasa janggal dengan realisasi pembangunan TPT yang secara kasat mata dinilai tidak rasional antara bukti fisik pembangunan dan besarnya dana yang digelontorkan.
Hal lain yang menjadi perhatian dalam pembangunan TPT tersebut adalah dugaan penyerobotan lahan warga dan pemusnahan tanam tumbuh dilahan masyarakat yang tidak dikuti dengan pembayaran ganti rugi.
Pembangunan TPT tersebut dinilai tidak melalui perencanaan teknis yang baik dan tidak mempertimbangkan dampak lingkungan karena tidak menyertakan saluran pengarah air pada bibir tembok untuk menyegah terjadinya erosi saat musim hujan tiba, yang dapat mengganggu kenyamanan lingkungan sekitar.
Selain itu, Kualitas pekerjaan TPT tersebut juga dipertanyakan, sebab belum lama dibangun namun kondisi fisik sudah menampakkan gejala keretakan pada bangunan tersebut.
“Kami merasa tidak masuk akal, dengan dana yang demikian besar (Rp.300 Juta lebih, red), volume hanya sekian saja. Kami merasa tidak sesuai”, Keluh warga Desa Rigi, yang meminta identitasnya di rahasiakan, Selasa, 14 Mei 2024.
Kepala Desa Rigi, Ferdinandus Pelo, Ketika dikonfirmasi faktahukumntt.com menjelaskan bahwa mekanisme pembangunan TPT di Desa Rigi sudah sesuai prosedur dan tahapan pembangunan yang baik dan benar.

Pembangunan TPT yang berlokasi di TK Desa Rigi tersebut merupakan usulan masyarakat dengan pertimbangan dampak lingkungan akibat erosi yang dapat berpengaruh terhadap kerusakan fasilitas umum dan bangunan pemerintah.
“Pembahasannya di tahun 2022 bahwa tahun 2023 kita akan bangun TPT. Kita P1 kan. Kita bahas bersama BPD, bersama tokoh-tokoh masyarakat. Awalnya sebenar dibangun di pemukiman nomor tiga, tetapi kita melihat kembali dokumen perencanaan kita yang paling urgen itu apa?. Kalau tidak segera TPT, bangunan Rumah Guru, asrama akan kena dampak erosi. Bangunan ini jurang, maka kita harus segera TPT”, jelas Kades Rigi.
Ia mengutarakan bahwa tahapan proses pembangunan, mulai dari perencanaan hingga pembangunan telah melalui melalui prosedur dengan pertimbangan yang matang berdasarkan petunjuk regulasi.
“Setelah proses perencanaan, kita mulai dengan penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa atau Apbdes. Setelah Apbdes kita susun, kita melakukan asistensi. Ada tim asistensi Apbdes. Setelah asistensi yang terakhir adalah ada Tenaga Ahli, artinya semua diverifikasi”, jelasnya lebih lanjut.

Ia mengaku bahwa pekerjaan TPT di Desa Rigi mengacu pada Peraturan Pengadaan barang dan Jasa milik Pemerintah, maka pihaknya memutuskan untuk menggunakan metode Padat Karya Tunai karena anggarannya diatas Rp.250 juta.
“Melihat dari anggaran 300 juta lebih, maka kita menggunakan padat karya tunai. Berdasarkan instruksi menteri desa untuk pada karya HOK (Harian Orang Kerja, red) harus 50 persen dari Pagu. Dari total anggaran 300 lebih juta, biaya fisiknya adalah 145 juta, selebihnya sewa HOK”, ungkapnya.
Untuk dugaan pembangunan fisik TPT tidak sesuai dengan besar anggaran, Kades Rigi menepis bahwa hal itu karena masyarakat hanya membaca data di baliho dan tidak memahami mekanisme realisasi pembangunan dengan pola padat karya.
Ia kembali menegaskan bahwa untuk pembangunan dengan pola padat karya, 50 persen dari pagu anggaran dimanfaatkan untuk pembayaran HOK yang tidak boleh diganggu gugat.
“Mereka melihat total anggaran yang kita tempel di baliho saja. Kok anggaran begitu, tetapi bangunan hanya itu-itu saja. mereka tidak tahu bahwa anggaran fisik hanya setengah dari pagu. Berarti anggarannya 300 juta, kira-kira setengah dari itu untuk HOK, itu yang mereka tidak paham”, ucap Kades.
Sementara itu, untuk ganti rugi tanam tumbuh bagi masyarakat yang terdampak, Ia mengaku sudah merealisasikan berdasarkan besar kerugian masing-masing warga.
“Kalau ganti rugi, saya pikir sudah kasih semua. Untuk Kopinya kita pakai seng, untuk bambu kita pakai uang. Saya pikir sudah semua, sudah ada kesepakatan, ada berita acaranya, penerima tanda tangan ada”, urainya.
Selanjutnya, keluhan mengenai pembangunan TPT tidak menyertakan saluran yang berdampak pada kerusakan lingkungan, Kades beralasan bahwa ketersediaan anggaran tidak mencukupi untuk membangun saluran pengarah air.
“Memang dalam perencanaan, kita mau buat saluran, untuk buang air ke kali kering. Kita juga berpikir kesitu, tetapi kita melihat anggaran dulu, kalau anggaran tidak ada kita tidak dapat memaksa”, jawabnya.
Ihwal kualitas fisik pembangunan yang mulai menampakan gejala keretakan, Kades Rigi mempersilahkan untuk mengamati secara langsung fisik pembangunan di lapangan karena masyarakat Desa yang mengerjakannya.
“Kalau memang retak, retaknya bagian mana?, kita lihat langsung kondisi fisik di lapangan. Menurut saya dengan anggaran 100 lebih juta dengan kondisi fisik lapangan, anggaran sangat tidak cukup, namun berkat antusias masyarakat, semangatnya tinggi mengingat target HOK 50 persen maka mereka semangat untuk bekerja”, ungkap Kades Rigi, Ferdinandus Pelo ketika diwawancarai di Kantor Desa Rigi, Kamis, 17 Mei 2024.

Kades Rigi, Ferdinandus Pelo memastikan semua proses pembangunan telah melalui tahapan proses yang benar, termasuk melalui pendekatan komunikasi yang baik terhadap masyarakat sekitar yang terkena dampak pembangunan TPT. (Tenda)
Tetap Terhubung Dengan Kami:



CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.